Namaku Juana. Separuh Jiwaku Ada di Gaza.
Mengamati berita penyergapan Kapal Pembawa Relawan Kemanusiaan oleh tentara Israel di Gaza beberapa waktu yang lalu menginspirasi saya untuk menulis beberapa artikel dan berita seputar perkembangan gaza. Sering saya browsing tentang penderitaan masyarakat Palestina khususnya Gaza yang begitu memprihatinkan.
Nah, di antara beberapa artikel dan berita yang berhasil saya baca, kemudian disadur ulang di sini dengan beberapa tambahan gambar untuk mendukung isi berita. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah kisah perjuangan seorang wanita Malaysia bernama Juana yang berangkat ke Gaza untuk misi kemanusiaan. Berikut petikan kisah selengkap nya bisa anda baca di bawah ini.
Kemarin saya menerima kiriman pos, newsletter dari VoP. Ada artikel panjang yang membuat saya terharu-biru. Kisah seorang perempuan muda bernama Juana Jaafar asal Malaysia. Dia bersama rekannya bernama Ram yang beragama Hindu dipilih untuk menjadi utusan Perdana Global Peace Organization untuk bergabung dengan Viva Palestina. Juana dan Ram terbang ke London membawa uang donasi rakyat Malaysia sebesar 1 juta ringgit, di London dibelikan ambulans (dan memberinya nama “Arafah”) lalu mengisinya dengan berbagai perlengkapan yang kira2 dibutuhkan rakyat Gaza. Lalu, dari London, dimulailah konvoi kemanusiaan itu.
Saya membaca artikel panjang itu sambil menahan nafas. Betapa inginnya saya menjadi Juana. Saya browsing, artikel itu tak ada di internet. Jadi saya ketik ulang saja (fiuuh…!) bagian-bagian yang paling membuat saya merinding. Saya tak bisa jadi Juana, tapi setidaknya, saya bisa menyampaikan pengalamannya pada segelintir pembaca blog ini. Artikel indah ini ditulis oleh seseorang berinisial AH (Alfian Hamzah kah? Hmm..) yang mengikuti laporan-laporan singkat Juana selama perjalanannya dari London ke Gaza melalui Twitter. Thank you AH, keep up the good work!
–
Namaku Juana. Separuh Jiwaku Ada di Gaza.
Ikut dalam konvoi Viva Palestina bukan hal gampang. Keamanan di jalan adalah satu hal. Hal lain adalah mereka bukan turis yang sedang bertamasya. Konvoi umumnya tidur di alam terbuka, di tempat parkiran atau tanah lapang. Juana dan Ram yang bergantian menyetir ambulans, lebih memilih tidur di mobil. Tapi sleeping bag mereka masing-masing seringkali kalah oleh keras dan dinginnya rangka ambulans. “Ginjal serasa di kepala,” kata Juana.
“Misi ini,” kata Juana dalam pesannya di alam maya, “bukan untuk mereka yang tak sabar. Ini mungkin jenis mis yang jitu membuat orang lebih sabar, Insya Allah.”
Dalam pesannya yang lain, Juana menulis,
“Paling tidak ada dua perempuan di bawah 35 tahun yang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya untuk iku konvoi ini… Saya respek gila dengan perempuan-perempuan ini. Tolong diingat, mereka membiayai dirinya sendiri. Kantor tak mengizinkan mereka cuti, so mereka memutuskan berhenti kerja. Cool gila.”
“Seorang teman. Seorang bekas pemain sirkus, usianya mungkin sudah pertengahan 50, mendanai keikutsertaannya dalam konvoi ini. Dia mengumpulkan sumbangan dengan cara menenteng kotak donasi di depan supermarket Tesco di Wales. Dia orang Kristen dan di telinganya ada anting bergambar Salib.”
“Sekarang saya duduk bersama sekelompok anak remaja Irlandia yang semuanya beragama Katolik. Mereka menyetir sendiri jauh-jauhd ari Irlandia karena mereka bilang, ‘yang terjadi di Palestina adalah persis seperti yang pernah terjadi di Irlandia.”
“Misi ini bukan sebuah jihad. Ini soal keadilan. Justru, sekarang ini saya seperjalanan dengan seorang non-Muslim dan seorang vegan dari California. Viva!”
“Sepasang suami istri yang sudah tua di Jerman baru saja memberiku beberapa lembar voucher minum kopi, hanya karena tahu saya menuju Gaza. Saya rasanya ingin menangis… Begitu banyak orang yang terlalu baik kepada kami.”
“Kami diberi buah-buahan, makanan, di sepanjang jalan. Orang membunyikan sirine dan klakson untuk merayakan kehadiran kami.”
“Di Ancona, Turki, seorang perempuan menggadaikan cincin kawinnya dan menitipkan hasilnya kepada Kevin (pimpinan konvoi) untuk disumbangkan ke orang-orang Gaza. Oh sedihnya.”
Kurang lebih sepekan menjelang pergantian tahun, konvoi Viva Palestina telah sampai di pelabuhan Aqaba Jordan. Dengan sekali berferi lagi, mereka sudah bisa menginjakkan kaki di Pelabuhan Nuwaiba, Mesir. Lalu, dalam perjalanan darat kurang dari sehari, mereka bisa sampai di rafah, pintu masuk ke Gaza.
Tapi… seperti sengaja Mesir melarang konvoi mendekat dengan menutup akses masuk lewat Pelabuhan Nuwaiba. Viva Palestina, kata pejabat Mesir belakangan, hanya membolehkan penggunaan pelabuhan El Arish.
Masalahnya, akses dari Aqabah ke El Arish hamper mustahil. Pilihan ini memaksa konvoi Viva Palestina mundur 500 km hingga ke Pelabuhan Lattakia di Suria. …Tetapi kendati dipermainkan begitu rupa oleh Mesir, Viva Palestina tidak menyerah. Mereka memutuskan kembali mengemudi ke arah Lattakia di Suria, menyewa sebuah kapal angkut raksasa untuk membawa semua kendaraan ke pelabuhan El Arish.
Tapi ini pun baru separuh cerita. Mesir tak kunjung memberikan kelonggaran bagi konvoi kemanusiaan ini… Mesir mengirim 2000 polisi huru-hara untuk menghadang mereka di pelabuhan. Saat anggota konvoi memprotes dengan damai, polisi Mesir menyerang dengan membabi-buta. Lima puluh lebih orang anggota konvoi terluka dalam kejadian ini.
Mesir, yang berada dalam tekanan public internasional, akhirnya mengizinkan konvoi melaju ke Rafah. Di gerbang Rafah, ada ratusan ribu orang Palestina yang telah menunggu. Mereka menyiram anggota konvoi dengan air mata dan tanda syukur.
…Ambulans Juana masuk ke Gaza belakangan. Dia menulis pesan di Twitter:
“Saya baru saja mengunci ambulans untuk terakhir kali dan serasa ada kehilangan besar di dada. Si ambulans Arafah telah membawa dua anak Malaysia melintasi Eurotunnel, mendaki Alpen yang bersalju, melintasi Laut Adriatik, mengarungi pebukitan Turki yang mencengangkan, melewati sahara Wadi Rum, hingga..Mesir yang terkutuk, dan sekarang di sini, di Tanah Yang Dijanjikan (Palestina)…”
Viva Palestina tak lama tinggal di Gaza, kurang dari 48 jam karena Israel terus membombardir Gaza sementara mereka berada di sana. Juana menulis,
“Holy s—t, kami baru saja mendengar ledakan bom. Jendela pada bergetar. Bangsat demi Tuhan saya sumpahi mereka. Bayangkan ini terjadi nyaris setiap hari pada orang Palestina!”
Pada 10 Januari, Juana dan timnya mendarat dengan selamat di Kuala Lumpur…
[AH]
Catatan:
Naskah asli informasi ini bisa anda dapatka di newsletter Suara Palestina. Silahkan kirim email saja ke sekretariat VOP, suarapalestina@yahoo.com atau mail@suarapalestina.org. Minta dikirimi newsletter edisi 7, Januari 2010.
Sumber: Dinasulaeman.wordpress.com
Penting!! Perlu Anda Baca:
@ Cara Bikin Blog Cantik dan Dinamis
@ Kumpulan Tutorial Blog Lengkap
@ Kumpulan Dongeng Anak
@ Bukan Berita Biasa
@ Trik dan rumus matematika
@ Catatan dan Ulasan Seputar dakwah
@ Tips dan Trik belajar yang efektif
@ Review dan Ulasan pertandingan Juventus
@ Pasang Iklan gratis
@ Kumpulan widget gratis
@ Seputar hukum dan kisah-kisah sedekah
@ Seputar Koleksi Buku
@ Seputar Resensi Buku
@ Kumpulan tutorial Blog
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan Bijak, Jangan buang waktu anda dengan berkomentar yang tidak bermutu. Terimmma kasssih.