Bermain dengan Ayah
"Sering orang mencoba menjalani hidup secara terbalik; mereka mencoba memiliki lebih banyak barang, lebih banyak uang, agar dapat mengerjakan hal yang mereka inginkan lebih banyak, agar mereka lebih bahagia. Sebenarnya, jalan yang benar adalah kebalikannya. Engkau pertama-tama harus menjadi dirimu yang sesungguhnya, lalu melakukan apa yang perlu kau lakukan, agar dapat lebih banyak memiliki hal-hal yang kau inginkan." (Margaret Young).
Sore itu, cuaca begitu cerah. Pak Zaenal seperti biasa setelah shalat Ashar, baru pulang dari kantor. Begitu sampai di rumah, Pak Zaenal mengucapkan salam dan membuka pintu rumah. Di sana, didapati putri kesayangannya, Alifia (5 th), yang sedang menunggu dan menyambut dengan antusias atas kehadiran ayahnya. Anak ini, seakan-akan tidak mempedulikan kondisi ayahnya. Biar kondisi ayahnya capek, lelah, dan perlu istirahat. Pokoknya dalam pikirannya hanya ada satu kata, yaitu "bermain dengan ayah". Dalam pikirannya, bermain dengan ayah adalah sesuatu yang paling menyenangkan. Dalam keadaan itulah, biasanya hati Pak Zaenal luluh untuk menuruti kemauan anaknya.
Dan Pak Zaenal menghibur dirinya dalam hati dengan ucapan, "Bukankah saya selaku orang tua harus mampu memposisikan pikirannya dengan pikiran si anak. Lagi pula kita selaku orang tua harus mampu memformulasikan rasa lelah, bijaksana, emosi anak, mendidik, dan hiburan menjadi satu bentuk amal keikhlasan," ucap hatinya. Akhirnya, terciptalah kebersamaan Pak Zaenal dengan anaknya. Keduanya bermain-main naik sepeda keliling rumahnya. Hilang sudah "rasa lelah" Pak Zaenal, berganti keceriaan yang tiada tara, baik dirinya maupun anaknya. Dan seperti biasanya, saat bermain itulah Pak Zaenal tidak lupa menyelipkan tarbiyah tentang kehidupan kepada anaknya. Hiburan merupakan kebutuhan tambahan yang cukup memberi andil dalam perkembangan anak.
Dari aktivitas hiburan ini, akan terbentuk penyegaran pikiran dan fisik. Ialah obat dari kejenuhan rutinitas hidup seseorang. Baik bagi suami, istri, maupun anak. Dalam koridor seperti itu, biasanya emosional orang tua menjadi luluh. Orang tua memenuhi keinginan seorang anak untuk mendapat hiburan. Hiburan apa? Seperti yang terjadi pada Pak Zaenal, ternyata di luar dugaannya. Sang anak hanya ingin naik sepeda. Dengan naik sepeda keliling lingkungan RT, wajah sang anak begitu terlihat bahagia. Begitu juga pada keluarga lain, anak-anak itu sebenarnya tidak menuntut banyak tentang jenis hiburannya.
Tapi, dirinya ingin bermain dengan kemampuan orang tuanya. Bisa dikatakan langkah Pak Zaenal itu, adalah sesuatu yang menjadi ikon pribadi seorang ayah yang bijaksana. Karena menurut Margaret Young, sering orang mencoba menjalani hidup secara terbalik; mereka mencoba memiliki lebih banyak barang, lebih banyak uang, agar dapat mengerjakan hal yang mereka inginkan lebih banyak, agar mereka lebih bahagia. Sebenarnya, jalan yang benar adalah kebalikannya. Engkau pertama-tama harus menjadi dirimu yang sesungguhnya, lalu melakukan apa yang perlu kaulakukan, agar dapat lebih banyak memiliki hal-hal yang kau inginkan. Naik sepeda, begitu sederhana. Tak perlu biaya banyak dan relatif setiap orang tua mampu melakukannya.
Tapi, hal sederhana itu, justru subhanallah, besar manfaatnya. Di antaranya, bagaimana kita bisa mengajarkan rasa syukur nikmat, menghormati orang lain, aktivitas amaliah di dunia, dan lainnya. Tarbiyah itu, tentu masih dalam jangkauan pikiran dan bahasa anak-anak seusianya. Salah satu kesan menghibur anak dengan naik sepeda itu adalah proses mendidik anak untuk mensyukuri nikmat. Aktualisasi rasa syukur nikmat itu secara sederhana, kita bisa mencontohkan misalnya bagimana seorang manusia yang diberi anggota tubuh yang sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya; terciptanya hewan, tumbuhan; adanya matahari, bintang, langit, awan, dan lainnya.
Atau berupa nikmat non materi seperti nikmat sehat dan adanya waktu senggang, sehingga kita bisa bermain. Pokoknya, pemberian kebutuhan hiburan kepada keluarga, lebih-lebih pada anak, adalah lebih utama dari yang lainnya. Rasulullah SAW bersabda, "Pemberian tambahan seseorang kepada keluarganya lebih utama daripada pemberian tambahan kepada orang lain, seperti kelebihan seseorang shalat berjamaah dibanding seseorang shalat sendiri." (HR. Ibnu Abu Syaibah). Wallahu a'lam.
Suatu Hari di Sebuah Angkot
Sebuah angkot, selebor jalannya. Cepat tidak, lambat pun tidak. Di pinggir tidak, di tengah pun tidak. Jika berhenti sesuka hati. Terhadap bunyi klakson yang marah ia seperti tuli. Terhadap akibat atas ulahnya ia tak peduli.
Saya pernah menjadi bagian dari orang yang jengkel itu. Tak cuma jengkel tapi marah. Betapa menyenangkan membayangkan sopir semacam ini diseret untuk kita caci-maki. Kepadanya harus diberi kuliah dan sumpah serapah betapa memakai jalan seenaknya adalah kejahatan.
Pertama ialah karena ia menganggap jalanan umum itu sebagai milik bapaknya. Kedua karena ulahnya bisa menimbulkan kemacetan. Ketiga karena kecerobohannya bisa menimbulkan kecelakaan. Tiga kejahatan sekaligus. Tapi paling menyedihkan adalah kejahatan keempat: bagaimana mungkin orang yang sudah begini jahat sama sekali tidak menyadari kejahatannya.
Maka adalah lebih menyenangkan lagi membayangkan orang itu diseret tidak sekadar untuk dicaci maki, tapi sudah layak dikeroyok ramai-ramai. Dihajar hingga kapok, dipaksa minta ampun dan meratapi dosanya. Membayangkan wajahnya yang takut dan kalah tentu akan menjadi kegembiraan. Maka untuk bisa membuat bayangan itu lebih nyata, angkot yang tengah berhenti sembarangan untuk mencari penumpang itu harus disalip, wajah sopir itu harus dilihat seutuhnya.
Hanya setelah wajah itu tertangkap, sejarah terpaksa harus berubah. Sopir itu ternyata tak lebih dari lelaki kecil, hitam, kusut dan kosong pula pandang matanya. Klakson yang hiruk-pikuk menghardiknya, bahkan tak sanggup mengatupkan mulutnya yang menganga. Sikap mulut yang menggambarkan betapa otak lelaki ini memang sedang kosong, terbang entah kemana.
Wajah itu pula yang memaksa saya menengok angkot tuanya dengan penumpang seorang saja. Dari jumlah penumpangnya, lalu terbayang berapa anak di rumahnya, berapa biaya sekolahnya dan apakah pendapatannya sebagai sopir cukup untuk menutup itu semua.
Imajinasi ini lalu bereskalasi, membesar sendiri. Pastilah di kampungnya, sopir ini juga sering diundang kondangan sambil menyumbang tatangga serta kolega. Dan undangan itu pasti tidak cuma satu atau dua, tapi bisa tiga, empat, lima... dan seterusnya. Dan ia pun pasti menyumbang dengan kepantasan. Bisa berlebih tapi jangan berkurang dari ukuran kewajaran.
Di sekolah, anak-anaknya pastilah juga anak-anak seperti pada umumnya yang harus bersepatu dengan merek seperti yang lazim dipakai teman sebaya. Sekolahnya pun pasti sekolah pada umumnya yang harus mengenal beli buku, bayar SPP dan uang saku. Karena Indonesia memang negeri umum. Artinya, keadaan orang tua boleh berbeda tapi anak-anak mereka harus menghadapi beban dan godaan yang sama.
Jadi yang boleh berbeda hanya soal status dan pendapatan orang tua saja. Bahwa jika sopir ini cuma mendapat sebegini adalah lumrah adanya. Bahwa jika pejabat itu mendapat sebegitu adalah cocok dengan ketinggian jabatannya. Engkau memang boleh berbeda tapi anak-anakmu tidak. Karena mereka bisa bertemu di sekolah yang sama dan menghadapi dunia yang sama. Apapun jenis penghasilanmu tak bisa mencegah laju pengaruh bagi anak-anakmu. Tak peduli apapun pebedaan statusmu, anak-anakmu bisa melihat iklan gaya hidup di televisi bersama, bisa sama-sama menonton sinetron Opera SMU yang ngetop tapi dituduh jiplakan itu.
Jadi, pantas saja jika sopir angkot itu kosong tatap matanya. Pantas saja jika hujan klakson tak dia dengar dan kemarahan itu tak ia rasa. Karena tekanan jalan raya itu ternyata pasti kecil saja dibanding tekanan hidupnya. Yang keliru akhirnya kita juga yang kerap menuntut orang-orang tertekan itu agar berbuat mulia. Sebagai penonton dari kejauhan, tuntutan kita kadang memang sering keterlaluan.
Kakek dan Cucu yang Menangis Bersama
Penertiban sebuah pasar menyisakan sebuah foto: seorang kakek memeluk cucu dan menangis bersama saat melihat tempat dagangan mereka digusur paksa. Kita tidak mengenal siapa cucu itu, tapi kita mengenal perasaannya. Ia pasti cucu yang tengah berduka demi melihat kakeknya menderita. Cucu yang demikian pasti cucu yang dekat dengan kakeknya. Kedekatan itu pasti bukti kalau mereka saling cinta.
Sejumlah ''kepastian'' berikutnya bisa dibangun lebih jauh. Karena kakek itu hanya pedagang buah kecil, cintanya pada sang cucu pasti juga diekspresikan dengan cara-cara yang kecil. Jika membawa oleh-oleh pun pasti dari kelas yang kecil saja. Karena semua sumber kasih sayang si kakek juga cuma berasal dari dagangan buahnya yang kecil. Kini sumber yang kecil itu telah porak poranda.
Cucu itu, perempuan, berkulit hitam, keriting dan sekitar 5 tahun usianya. Ia adalah anak-anak pada umumnya, yang selalu bisa mengingatkan setiap orang tua pada anaknya, setiap kakek-nenek pada cucunya. Anak-anak adalah sebuah melankoli, yang bisa membuat kita menangis tanpa harus menunggu mereka menjadi korban tragedi.
Ada jenis orang tua yang tak henti mengutuk diri sendiri setelah usai menghukum anaknya. Gara-gara rengekan panjang si anak, orang tua ini kalap. Dia ambil handuk, disabetnya punggung si anak bertubi-tubi. Tidak cukup menyakiti, tapi cukup membuat si anak menggigil ngeri. Bukan oleh kesakitan, tapi oleh ketakutan. Takut demi melihat orangtuanya bisa berubah garang secara tiba-tiba, sebuah kelakuan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Si anak ini pun mengkerut dan hampir pingsan oleh luka di hatinya. Si orang tua sendiri menjadi kaget ketika kemarahannya reda. Sejak itu, ia selalu menangis setiap terbayang wajah anaknya yang kaget dan ngeri itu. Setiap bepergian ia selalu kepingin buru-buru pulang hanya untuk segera memeluknya.
Orang tua yang lain lagi malah dilanda kecengengan yang lebih tidak bermutu. Hanya karena si anak telah bisa menari di pentas Agustusan, orang tua ini bisa sesenggukan di belakang panggung. Sementara penonton tergelak ketika melihat si anak melakukan kesalahan, sang orang tua malah makin keras tangisnya. Geli, haru, takjub dan iba mengharu-biru hatinya.
Jenis orang tua yang lain lagi malah punya cara menangis yang lebih sederhana: berfantasi. Melihat anak-anak bersekolah dengan membonceng sepeda onthel bapaknya, tergencet lalu lintas yang ganas, diguyur debu, disembur asap knalpot dan dipanggang terik, menangislah dia. Melihat anak-anaknya lelap tidur di malam sepi, menangislah dia. Membayangkan ia gagal memberi pendidikan terbaik, membayangkan anaknya menjadi korban keganasan jalan raya, menderita karena hidup di zaman yang korup dan rusak, berurailah airmatanya.
Sungguh, untuk terharu pada anak-aak, manusia tak perlu menunggu mereka menjadi korban musibah. Padahal bangsa ini tak henti-hentinya menyiapkan musibahnya. Kita bisa membangun supermaket tapi tak becus menata lahan parkirnya dan ruwetlah akibatnya. Pemerintah bisa menetapkan seorang tersangka tapi ada saja ''anggota'' pemerintah yang selalu sibuk membela, menjenguk jika ia dipenjara, membezuk jika ia sakit. ''Silaturahmi sebagai sesama umat beragama.'' katanya. Maka kacaulah rakyat dibuatnya.
Padahal jika suatu bangsa telah memiliki dua hal: pemimpin yang egois dan pemerintah yang terpecah-belah, maka lengkaplah bakat bangsa itu sebagai biang musibah.
Jadi, masih akan banyak lagi anak-anak yang bersiap menjadi korban musibah. Padahal melihat mereka, kita akan selalu terkenang anak-anak kita sendiri.
Penting!! Perlu Anda Baca:
@ Cara Bikin Blog Cantik dan Dinamis
@ Kumpulan Tutorial Blog Lengkap
@ Kumpulan Dongeng Anak
@ Bukan Berita Biasa
@ Trik dan rumus matematika
@ Catatan dan Ulasan Seputar dakwah
@ Tips dan Trik belajar yang efektif
@ Review dan Ulasan pertandingan Juventus
@ Pasang Iklan gratis
@ Kumpulan widget gratis
@ Seputar hukum dan kisah-kisah sedekah
@ Seputar Koleksi Buku
@ Seputar Resensi Buku
@ Kumpulan tutorial Blog
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan Bijak, Jangan buang waktu anda dengan berkomentar yang tidak bermutu. Terimmma kasssih.