Tentang Taqwa: Hakikat Kematian (Maut)

Diantara sekian banyak panggilan Allah yang paling utama yang harus kita penuhi dan pasti kita alami adalah maut atau kematian. Al-mautu Haqqun! Kematian itu pasti akan terjadi pada setiap diri manusia, suka atau tidak suka, mau tidak mau, takut atau tidak takut, semuanya pasti akan mengalaminya. Undang-undang Allah ini tidak pandang bulu dan suku, tidak melihat martabat dan pangkat, tidak mau tahu menahu jabatan dan kedudukan, tidak membedakan kaya atau miskin, yang awam maupun ilmuwan, semuanya pasti terkena dan menjalaninya. Dan barangkali tidak ada satupun manusia yang mengingkari dan menantangnya, semuanya pasti menerimanya. Dan memang begitulah kenyataannya.
Mengenai hal ini, Allah sWT menegaskan dengan firmanNya dalam Al-Quran: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasai mati." (QS.Ali Imran 3:185)
Dan firman Allah yang lain: "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapati kamu, walaupun kamu di mahligai-mahligai yang teguh." (QS.An-Nisa 14:78).
Kita sering melupakan maut. Kita melihat jenazah susul-menyusul di hadapan kita tiap hari. Tetapi, kita tidak pernah membayangkan bahwa kita juga akan mati. Kita berdiri dalam shalat jenazah, tetapi pikiran kita berputar mengelilingi dunia. Seorang dari kita mengira, bahwa maut itu pasti mengenai setiap makhluk kecuali Dia (Allah SWT). Sebenarnya manusia mengetahui bahwa dunia ini akan meninggalkannya atau dia yang meninggalkan dunia ini. Betapa pun dia hidup, pasti ia akan mati. Tidakkah umur 60 tahun, 70 tahun ataupun 100 tahun itu kita akan habis dan akan diganti dengan mati? Belumkah kita berkenalan dengan seseorang yang umurnya 100 tahun? Ia toh akhirnya akan mati. Nabi Nuh as, menurut Al-Quran berumur 950 tahun. Di manakah beliau sekarang? Apakah beliau masih hidup terus di dunia? Terhindarkah beliau dari maut?
Bila sudah demikian kenyataannya, mengapakah kita tidak pernah berpikir tentang maut? Dan mengapakah kita tidak bersiap sedia untuk menghadapinya, jika memang sudah pasti akan kita hadapi suatu hari nanti? Yah, mengapa? Seseorang yang akan menghadapi perjalanan jauh, namun tidak diberitahu kapan waktunya harus berangkat, tidakkah ia patut selalu dalam keadaan siap sedia (menyiapkan semua bekal amal kebaikan demi keberlanjutan hidupnya kelak di akhirat)? Begitu datang panggilan tentunya ia sudah siap.

Ingatlah malaikat maut datangnya sewaktu-waktu. Dia tidak akan memberitahu lebih dahulu dan memberikan tambahan waktu, walaupun cuma sebentar.
Masalahnya sekarang, apakah sebenarnya atau hakekat maut itu? Ada apa di balik itu? Bekal utama apa yang mesti kita bawa untuk menghadapinya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah amat sangat penting. Karena dari sanalah manusia akan menentukan arah dan bagaimana seharusnya ia berbuat di dalam hidupnya kini, agar nantinya ia bisa selamat dan bahagia.
Maut, pada hakekatnya adalah suatu kelahiran baru, suatu pelepasan dari alam yang sempit ke alam yang lebih luas, yaitu dari alam fana ke alam yang lebih panjang masanya, yakni alam akhirat. Dan inilah dibalik maut itu.
Bahwa kelak pada hari Qiyamat, setelah segenap ummat manusia dibangkitkan dari kubur masing-masing, mereka akan dihimpun di suatu tempat yang bernama Mahsyar (tempat perhimpunan). Kemudian, masing-masing akan dihadapkan kepada Mahkamah Allah SWT, yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Mereka akan dimintai pertanggungjawabannya atas kehidupannya di dunia, diperhitungkan amal perbuatannya dan ditimbang bobotnya. Atas dasar inilah dan rahmat Allahlah, kemudian seseorang akan ditentukan kedudukannya. Apakah ia akan menepati tempat yang penuh penderitaan dan siksaan (neraka), sebagai balasan atas kelalaian, kejahatan dan kedurhakaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana kelanjutan Firman Allah: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasai mati, dan tidak akan disempurnakan balasan kamu manusia melainkan pada hari Qiyamat. Lantaran itu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke syurga, maka selamatlah ia, karena kehidupan yang rendah (dunia) ini tidak lain kecuali benda yang menipu." (QS.Ali-Imran 3:185). Kemudian, bekal apa yang mesti kita bawa untuk menghadapi hal itu?
Kita hidup di dunia ini ibarat seorang yang sedang berlayar dengan kapal pesiar, ke luar negeri misalnya. Tentunya, sebelum berangkat kita akan mempersiapkan segala sesuatunya, terutama adalah perbekalan untuk memenuhi kebutuhan kita selama dalam perjalanan itu. Minimal, kita akan membawa uang yang cukup untuk di perjalanan dan selama berada di luar negeri. Akan tetapi, apakah kita akan membelanjakan uang kita hingga ludes hanya untuk menghias kita di atas kapal itu, tidak membawa uang sepeser pun? Jelas, hal itu tidak mungkin dan tidak akan mungkin kita lakukan. Kita pasti akan berpikir bukankah aku tinggal di kamar kabin kapal ini hanya beberapa minggu saja, sedangkan uang ini bisa kupergunakan untuk menyewa rumah di London, karena di sanalah nantinya aku akan berdiam lama, sebelum akhirnya aku akan plesir berbelanja ke Dubai, Uni Emirat Arab?
Begitulah perumpamaan kita hidup di dunia. Dunia ini hanyalah tempat persinggahan kita yang sementara. Sedangkan alam akhirat adalah tempat terakhir yang kita tuju, yakni alam yang abadi dan kekal. Nah, kalau sudah demikian perbekalan apakah yang mesti kita persiapkan? Allah SWT berfirman dalam Al-Quran: "Dan bawalah perbekalan, tetapi sebaik-baik perbekalan adalah taqwa." (QS.Al-Baqarah 2:197).
Taqwa ini amat sangat ditekankan oleh Islam. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman: Bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah (tiap-tiap) jiwa memperhatikan apa yang telah disediakan untuk besok, dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan." (QS.Al-Hasyr 59:18).
Kata taqwa berasal dari bahasa Arab: Ittaqa - Yattaqi artinya menjaga, melindungi. Dalam pengertian agama Islam adalah taat-tunduk-patuh-menyerah kepada segenap perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi segala laranganNya tanpa syarat, tanpa tawar-menawar. Jadi apapun perintah Allah dan RasulNya, sebagai seorang muslim yang konsekuen, tidak ada alternatif lain, kecuali: "Sami'na wa Ata'naa! (kami dengar dan kami taat) bukan Sami'na wa Ashainaa (kami dengar tapi kami langgar).
Ketaqwaan seseorang tidak bisa dilihat oleh mata dan tidak bisa diukur dari luas tidaknya pengetahuan agama seseorang. Tetapi yang jelas, ketaqwaan bagi seorang mukmin adalah pertanda mantapnya keimanan yang mengejawantah dalam amaliah lahiriyah, baik dalam hubungan dengan Allah maupun hubungannya dengan sesama insan. Mukmin yang taqwa di dalam situasi apapun dan kondisi bagaimanapun, langkahnya akan tetap seimbang dan stabil. Sebagaimana firman Allah: "Maka barang siapa yang bertaqwa dan berbuat baik, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka berduka cita." (QS.Al-A'raf 7:35).

http://www.pdmbontang.com

Penting!! Perlu Anda Baca:
@ Kumpulan dongeng anak
@ Bukan Berita Biasa
@ Trik dan rumus matematika
@ Catatan dan Ulasan Seputar dakwah
@ Tips dan Trik belajar yang efektif
@ Review dan Ulasan pertandingan Juventus
@ Pasang Iklan gratis
@ Kumpulan widget gratis
@ Seputar hukum dan kisah-kisah sedekah
@ Seputar Koleksi Buku
@ Seputar Resensi Buku
@ Kumpulan tutorial Blog

0 komentar:

Post a Comment

Berkomentarlah dengan Bijak, Jangan buang waktu anda dengan berkomentar yang tidak bermutu. Terimmma kasssih.