Pemuda sejati adalah yang sanggup menyatakan, ’’Aku adalah aku”. Bukannya pemuda yang berkata, ’’Aku adalah anak si Anu”. (Hadis Nabi Muhammad SAW)
KETIKA berbondong orang-orang dari segala penjuru ingin menjadi dirinya sendiri. Mereka telah melakukan perjalanan panjang dengan mengembara. Sepanjang tahun dan sepanjang kepulauan, mereka berpetualang menembus hutan semak-belukar, mengarungi lautan, mendaki gunung, menyeberangi sungai-sungai, memasuki gua, dusun, dan kota-kota besar. Mereka telah menemui para cendekiawan, ulama, guru, psikologi, dan para sesepuh yang bijaksana. Tapi, nyatanya mereka masih belum puas juga. Mereka merasa masih belum cukup afdal. Mereka tetap merasakan belum juga menjadi ’’aku”. Padahal telah habis waktu yang panjang, biaya yang banyak, tenaga yang terkuras, pikiran yang membebani, dan waktu yang terhimpun pupus.
Mereka merasa jika hidup pada zaman Rasulullah SAW –karena terdorong idealismenya yang tinggi, menganggap dan menggambarkan sejarah Islam masa silam dengan gambaran yang sangat indah– niscaya akan lebih mudah untuk mencapai keinginan yang sederhana itu.
Namun, ini adalah zaman ketika dunia sudah menjadi satu kubangan. Dunia yang penuh tipuan, meskipun dunia tidak pernah menipu kita. Bahkan sebaliknya, justru kitalah yang ’’menipu” dunia. Dunia dengan kenyataan masa kini yang penuh kezaliman, kebiadaban, ketidakadilan dalam berbagai bidang, kebejatan, dekadensi moral atau akhlak yang sering dipertontonkan, diperlakukan kolaborasi para penguasa sebagai pejabat negara (umaro) serta institusi penegak hukum dan pengusaha, baik dari konglomerat pribumi maupun nonpribumi, khususnya kelompok taipan Tiongkok kepada masyarakat (baca: rakyat) suatu negeri. Bahkan, tiga golongan manusia ini dengan sifat superioritas dan innocent yang melekat erat menjadi satu kesatuan dalam dirinya. Merasa bangga bila ’’dunia” mereka dipublikasikan secara vulgar melalui media cetak atau elektronik.
Manakala erosi kepribadian sudah semakin menggerogoti kekuatan hidup, jutaan orang akan hidup tanpa nama, tanpa pakaian, tanpa makan, dan tanpa tempat tinggal. Mereka hidup berkeliaran tanpa arah tujuan yang pasti dan tidak konkret. Kecuali selama ini orang-orang itu hanya menumpang pakaian, makan, rumah, tidur, dan mendompleng ’’kebesaran” nama orang tuanya sebagai nama jatidirinya yang palsu. Nampaknya, hidup tak butuh apa-apa selain kejayaan orang tuanya pada masa lalu yang dibangga-banggakan, sehingga orang-orang itu bisa bercerita bahwa mereka adalah keturunan si Anu. Keturunan adalah senjata, tameng, dan fasilitas yang dapat digunakan untuk menghirup zat asam meski dapat disedot secara gratis. Bahkan terhadap segala sesuatu yang dibagikan secara cuma-cuma pun, seperti pembagian sembako, kompor gas, uang BLT, kupon zakat fitrah dan daging kurban, kawin dan khitanan massal, kesehatan gratis, serta lain-lain, orang-orang ini harus menyebut silsilah keturunannya. Sebab, keturunan dapat ditafsirkan sebagai simbol kebesaran serta kekuasaan yang langgeng dan berlanjut dalam kurun waktu jangka panjang bagi mereka yang merasa berasal dari keturunan orang besar, berkuasa, dan kaya raya. Meskipun orang-orang tersebut hidupnya sendiri tak pernah menjadi besar, tak pernah berkuasa, dan melarat. Sebenarnya keturunan yang mereka agungkan itu bertujuan mengintimidasi dan menindas kaum proletarian agar mereka lebih berpeluang untuk memperoleh berbagai fasilitas kehidupan di negaranya sebatas untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Simbol keturunan dapat membentuk opini mereka untuk menjadikan golongan mereka menjadi kaum tirani.
’’Coba lihatlah kami!’’ seru penduduk dusun yang dikunjungi orang-orang pengembara itu. Jelek-jelek begini, kami ini punya nama, kami simpan akta kelahiran dan foto-foto milik kami. Ke mana pun kami bepergian, kami nyatakan nama kami secara wajar dan sederhana. Lalu, kami memperoleh mata pencaharian dan kami hidup darinya. Tidak ada sesuatu yang menakutkan. Nama kami cukup bisa dijual. Orang-orang percaya kepada kami karena kami sangat menjaga amanah apa pun bentuknya yang dibebankan oleh masyarakat kepada kami, karena Allah Yang Maha Mengetahui melaknat keras kepada orang-orang munafik. Bahkan, kami sekarang sudah tidak ingat lagi nama-nama orang tua kami yang termasyhur itu yang era dulu kalanya sangat berkuasa dan besar karena jabatan dan kekayaannya yang melimpah ruah. Untuk apa? Toh, masyarakat juga sudah tidak membutuhkannya lagi. Mereka juga sudah lupa. Sebab, kini yang ke depan itu aku. Maka masyarakat butuh tahu secara utuh siapa jatidiri aku? Orang-orang pengembara yang berbondong itu hanya terkesima dan tak habis berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tanpa membawa serta nama orang tuanya? Apakah itu realistis? Apakah itu dapat dianggap hidup? Selama ini membanggakan keturunan adalah suatu hal yang lazim. Orang tak perlu risih dan segan. Kenapa orang harus merasa malu? Itulah yang disebut mengagungkan kepribadian nasional karena sudah terikat pada akar budaya. Itulah yang dikatakan mengagungkan nama orang tua yang dianggap luhur. Nama sendiri tak penting. Nama orang tua adalah yang terpenting, karena nama orang tua menunjukkan kualitas, peradaban, dan jaminan. Identik dalam konteks filosofis Jawa-nya bahwa nama orang tua bisa mencerminkan bibit, bobot, dan bebet.
Adat-istiadat selama ini dipandang sesuatu yang sakral. Bahkan, kadangkala dianggap lebih suci daripada agama. Hanya karena orang tidak tahu atau justru orang tahu betul, maka adat adalah kebenaran itu sendiri. Upacara adat, ya upacara, semua orang harus terlibat dengan yang satu ini. Orang-orang pengembara itu sangat gemar pada upacara. Nama orang tua yang terpandang sudah sepantasnya dikaitkan dengan berbagai upacara dan anak-anaknya mendompleng di dalamnya. Sudah menjadi kebiasaan turun-temurun bahwa anak yang tak tentu kepandaiannya selalu mendewakan orang tuanya yang dibawanya ke mana-mana, tak pernah tanggal dari jasadnya. Anak adalah duplikasi orang tuanya yang sejati. Andaikan Rasulullah SAW sekarang masih bersama kita, beliau pasti penuh ketakjuban memandang umatnya yang mendewakan nama orang tuanya, padahal wahyu yang diterima beliau tidak demikian memerintahkannya. Nafsu pengkultusan nama orang tua telah bersimaharajalela menguasai relung-relung jiwa orang per orang dari setiap umatnya. Ada yang salah? Ya, tapi sudah menjadi salah kaprah. Padahal, pangsa pasar dan pangsa peradaban menghendaki munculnya kekuatan pribadi dengan statemen: ’’Inilah aku, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.” Juga struktur budaya yang tebangun dari puing-puing pingsan berserakan tak terurus, juga lebih mengutamakan kekuatan yang dimiliki para pemuda sejati yang apa adanya.
Bahwa agama dan filsafat tidak dapat dipakai sebagai rujukan manakala setiap orang sudah melenyapkan namanya sendiri dan memakai nama orang tuanya. Di sini rupanya sumber kebahagiaan dan keselamatan diri. Bahkan selera dan pengertian postmodernism pun tidak bisa menolong, meski di situ banyak peluang yang diberikan. Maka orang-orang pengembara yang berbondong-bondong itu menjadi kaya-raya, menjadi ditakuti, menjadi berkuasa, menjadi sewenang-wenang, menjadi selalu benar, menjadi penindas, menjadi momok demokrasi dan niat baik setiap orang karena nama orang tuanya. Mereka merumuskan sendiri tentang definisi transparansi, demokrasi, deregulasi, hak asasi manusia, hukum, politik, ekonomi, keadilan, kemakmuran, dan kebenaran.
Pada akhirnya, kemenangan dan kebenaran menjadi miliknya sendiri karena merekalah yang paling fasih menafsirkan sendi-sendi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara versi mereka dengan superegonya. Mereka membelanjakan uangnya, mereka mendapat untung daripadanya, mereka mendapat barang, keleluasaan, dan kehidupan yang langgeng. Tak ada kekuatan lain yang mampu menahannya selain kekuatan yang mereka miliki. Mereka merangsek terus. Mereka rakus dan ganas. Mereka menerkam apa dan siapa saja. Mereka bagaikan makhluk predator. Mereka membantai membabi-buta, memerkosa, bahkan membunuh tanpa belas kasih, tanpa batas, siapa pun yang menghalangi sepak terjangnya. Mereka selalu punya dalih untuk berbicara, bertindak, dan mengantongi apa saja yang mereka sukai. Pada hakikatnya, mereka telah memproklamasikan bahwa dunia dan seisinya adalah miliknya. Kita paham dan tanggap. Kita pasrahkan. Dengan kedua tangan yang berdarah, bergetar, dan merentang, kita persilahkan semuanya, kekuasaan, jabatan, pekerjaan, harta benda, jiwa raga, juga kehormatan untuk diambil. Di negeri ini, kita sudah tidak punya harga diri. Mereka berbondong dari segala penjuru mata angin makin banyak jumlahnya. Mereka merajalela memenuhi sudut-sudut desa, kota, dan dunianya. Mereka menggebrak. Mereka benar dan kita salah. Mereka menang dan kita kalah. Puncaknya, mereka telah menyebut dirinya sebagai Tuhan pengatur alam semesta karena agung dan luhur nama orang tuanya. Sementara, penduduk dusun adalah rakyat jelata yang didatangi oleh orang-orang pengembara itu, saat sekarat meregang nyawa mengeluh seraya berucap: ’’Apakah kondisi kehidupan masyarakat di negeri kami akan terus-menerus seperti yang kami alami saat ini? Apakah tak akan pernah berubah lagi sampai dunia kiamat yang sudah dekat? (*)
Anda mendapat 1 Pesan
Silakan Buka Pesan Sekarang di Sini
Penting!! Perlu Anda Baca:@ Bisnis Pulsa Paling Menguntungkan@ Cara Bikin Blog Cantik dan Dinamis@ Kumpulan Tutorial Blog Lengkap@ Kumpulan Dongeng Anak@ Bukan Berita Biasa@ Trik dan rumus matematika@ Catatan dan Ulasan Seputar dakwah@ Tips dan Trik belajar yang efektif@ Review dan Ulasan pertandingan Juventus@ Pasang Iklan gratis@ Kumpulan widget gratis@ Seputar hukum dan kisah-kisah sedekah @ Seputar Koleksi Buku@ Seputar Resensi Buku@ Kumpulan tutorial Blog
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan Bijak, Jangan buang waktu anda dengan berkomentar yang tidak bermutu. Terimmma kasssih.