Miskin Dan Sepi
Seorang pemuda baru saja mewarisi kekayaan orang tuanya. Ia langsung terkenal sebagai orang kaya, dan banyak orang yang menjadi kawannya. Namun karena ia tidak cakap mengelola, tidak lama seluruh uangnya habis. Satu per satu kawan-kawannya pun menjauhinya.
Ketika ia benar-benar miskin dan sebatang kara, ia mendatangi Nasrudin. Bahkan pada masa itu pun, kaum wali sudah sering [hanya] dijadikan perantara untuk memohon berkah.
"Uang saya sudah habis, dan kawan-kawan saya meninggalkan saya. Apa yang harus saya lakukan?" keluh pemuda itu.
"Jangan khawatir," jawab Nasrudin, "Segalanya akan normal kembali. Tunggu saja beberapa hari ini. Kau akan kembali tenang dan bahagia."
Pemuda itu gembira bukan main. "Jadi saya akan segera kembali kaya?"
"Bukan begitu maksudku. Kalu salah tafsir. Maksudku, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kau akan terbiasa menjadi orang yang miskin dan tidak mempunyai teman."
Mukadimah
Nasrudin adalah seorang sufi yang hidup di kawasan sekitar Turki pada abad-abad kekhalifahan Islam hingga penaklukan Bangsa Mongol. Sewaktu masih sangat muda, Nasrudin selalu membuat ulah yang menarik bagi teman-temannya, sehingga mereka sering lalai akan pelajaran sekolah. Maka gurunya yang bijak bernubuwat: "Kelak, ketika engkau sudah dewasa, engkau akan menjadi orang yang bijak. Tetapi, sebijak apa pun kata-katamu, orang-orang akan menertawaimu."
Nasib Dan Asumsi
"Apa artinya nasib, Mullah ?"
"Asumsi-asumsi."
"Bagaimana ?"
"Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib."
Nasrudin Memanah
Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Nasrudin. Karena Nasrudin cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Nasrudin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan.
"Ayo Nasrudin," kata Timur Lenk, "Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu."
Nasrudin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Nasrudin berteriak, "Demikianlah gaya tuan wazir memanah."
Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset dari sasaran. Nasrudin berteriak lagi, "Demikianlah gaya tuan walikota memanah."
Nasrudin segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini panahnya menyentuh sasaran. Nasrudin pun berteriak lagi, "Dan yang ini adalah gaya Nasrudin memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja."
Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Nasrudin.
Nasrudin Pemungut Pajak
Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.
Timur Lenk memerintahkan Nasrudin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nasrudin mencoba mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil.
Nasrudin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.
"Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Nasrudin ?" bentak Timur Lenk. "Laporan keuangan saya catat pada roti ini, Paduka," jawab Nasrudin dengan gaya pejabat.
"Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ?" Timur Lenk lebih marah lagi. Nasrudin menjawab takzim, "Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."
Orientasi Pada Baju
Nasrudin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat.
"Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," ujar Nasrudin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya.
Sampai rumah, Nasrudin tetap kering.
"Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah, "Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!"
"Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju."
Pada Sebuah Kapal
Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
"Teman-teman!" teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!"
Keledai Membaca
Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
"Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya."
Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin.
"Demikianlah," kata Nasrudin, "Keledaiku sudah bisa membaca."
Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu mengajari dia membaca ?"
Nasrudin berkisah, "Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar."
"Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya ?"
Nasrudin menjawab, "Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan ?"
Manipulasi Deskripsi
Nasrudin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nasrudin tampak menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan mengembalikan sorbannya.
Seseorang protes, "Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu."
"Nah," kata Nasrudin, "Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek."
Membedakan Kelamin
Seorang tetangga Nasrudin telah lama bepergian ke negeri jauh. Ketika pulang, ia menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang.
"Kau tahu," katanya pada Nasrudin, "Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak seorangpun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan."
Nasrudin senang dengan lelucon itu. Katanya, "Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana yang perempuan?"
Menjemur Baju
Nasrudin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Nasrudin, beberapa penduduk mengeluh,
"Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan."
Nasrudin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air.
Nasrudin melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Nasrudin mulai mencucinya. Penduduk kampung terkejut,
"Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!"
Di tengah kegaduhan, dengan tenang Nasrudin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu, terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka berteriak gembira.
"Bajuku hanya satu ini," kata Nasrudin di tengah hujan dan teriakan penduduk, "Bila aku menjemurnya, pasti hujan turun deras!"
[Catatan Koen: Trik ini sering digunakan oleh kaum sufi -- menggunakan keterjepitan-keterjepitan untuk hal-hal yang berbeda.]
Penting!! Perlu Anda Baca:@ Cara Bikin Blog Cantik dan Dinamis@ Kumpulan Tutorial Blog Lengkap@ Kumpulan Dongeng Anak@ Bukan Berita Biasa@ Trik dan rumus matematika@ Catatan dan Ulasan Seputar dakwah@ Tips dan Trik belajar yang efektif@ Review dan Ulasan pertandingan Juventus@ Pasang Iklan gratis@ Kumpulan widget gratis@ Seputar hukum dan kisah-kisah sedekah @ Seputar Koleksi Buku@ Seputar Resensi Buku@ Kumpulan tutorial Blog
0 komentar:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan Bijak, Jangan buang waktu anda dengan berkomentar yang tidak bermutu. Terimmma kasssih.